Anak adalah anugerah Allah SWT, tempat kita meneruskan cita-cita dan
garis keturunan. Anak juga merupakan amanah, titipan harta yang paling
berharga yang harus dijaga, dirawat dan dididik agar menjadi penyejuk
hati. Dalam persoalan ini, kita harus meneladani sikap Nabi Zakaria AS
dan Nabi Ibrahim AS. Kedua Nabi ini senantiasa berdoa kepada Allah Maha
Pencipta. “Ya Rabbana, anugerahkanlah kepada kami, pasangan dan
keturunan sebagai penyejuk hati kami. Jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertakwa.” (QS 25:74).
Setelah diberi amanah oleh Allah, Nabi Ibrahim di masa tuanya tidak pernah berhenti bersyukur. “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishak. Sungguh Tuhanku benar-benar Maha Mendengar doa.” (QS 14:39)
Namun, akhir-akhir ini begitu sering kita mendengar, anak justru seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Begitu sering kita baca, kedua orang tua begitu teganya membuang bayi yang baru saja dilahirkan. Ada yang gampang saja memukul anak di luar kemampuan anak itu untuk menerimanya. Disulut rokok, diseterika, bahkan terakhir sering kita baca, anak dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan orang tuanya. Di sisi lain, ada juga orang tua yang menjadikan anak bagai barang rebutan. Naudzubillahi min dzalik! Sudah sedemikian tipiskah rasa sayang orang tua pada anaknya, padahal amanah mendidik dan merawat anak itulah yang pada saatnya harus dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah, kelak.
Sebuah hadits Nabi berbunyi,” Seorang lelaki itu pemimpin bagi keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang istri itu pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya itu.” (HR Bukhari-Muslim).
Pasalnya, masih menurut hadits Rasulullah,” Setiap anak dilahirkan suci/fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikan mereka yahudi, nasrani ataupun majusi.” (HR Bukhari-Muslim).
Dalam soal mendidik anak, Rasulullah Muhammad SAW adalah sebaik-baiknya teladan. Pada diri Nabi ditemukan sosok pendidik yang menghargai anak. Rasulullah tidak jarang menyuapi anak-anak kecil dengan kurma yang sudah dimamahnya. Penuhnya hati Rasul dengan kasih sayang, membuat Beliau tidak marah ketika dalam shalatnya yang kusyuk punggung Beliau dinaiki cucunya, Hassan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau malah melamakan sujudnya, hingga cucunya itu turun. Usai shalat, kepada jamaah Rasul meminta maaf karena sujudnya agak lama. “Para jamaah, karena cucuku ini aku sujud agak lama. Dia berlari mengejarku dan naik ke punggungku ketika aku sedang salat (sujud). Aku khawatir akan mencelakakannya kalau aku bangun dari sujud.” (HR Ahmad). Subhanallah, apakah saat ini kita masih memiliki kasih sayang seperti itu?
Sikap kasih sayang dan kelembutanlah, sebenarnya, yang memungkinkan anak menjadi dekat. yang memudahkan mereka menerima petuah dan didikan orang tuanya. Orang tua yang miskin kasih sayang akan anaknya, menurut Nabi, akan mengundang murka Allah SWT. Aisyah RA berkata, telah datang seorang badui kepada Nabi. Nabi bertanya,” Apakah kamu suka mencium anakmu?” Dijawab, “Tidak.” Nabi bersabda,” … atau aku kuasakan agar Allah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu.” (HR Bukhari).
Anak adalah amanah dan karunia tuhan yang maha esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab bangsa.
Anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan akhlak.
Setelah diberi amanah oleh Allah, Nabi Ibrahim di masa tuanya tidak pernah berhenti bersyukur. “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishak. Sungguh Tuhanku benar-benar Maha Mendengar doa.” (QS 14:39)
Namun, akhir-akhir ini begitu sering kita mendengar, anak justru seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Begitu sering kita baca, kedua orang tua begitu teganya membuang bayi yang baru saja dilahirkan. Ada yang gampang saja memukul anak di luar kemampuan anak itu untuk menerimanya. Disulut rokok, diseterika, bahkan terakhir sering kita baca, anak dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan orang tuanya. Di sisi lain, ada juga orang tua yang menjadikan anak bagai barang rebutan. Naudzubillahi min dzalik! Sudah sedemikian tipiskah rasa sayang orang tua pada anaknya, padahal amanah mendidik dan merawat anak itulah yang pada saatnya harus dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah, kelak.
Sebuah hadits Nabi berbunyi,” Seorang lelaki itu pemimpin bagi keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang istri itu pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya itu.” (HR Bukhari-Muslim).
Pasalnya, masih menurut hadits Rasulullah,” Setiap anak dilahirkan suci/fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikan mereka yahudi, nasrani ataupun majusi.” (HR Bukhari-Muslim).
Dalam soal mendidik anak, Rasulullah Muhammad SAW adalah sebaik-baiknya teladan. Pada diri Nabi ditemukan sosok pendidik yang menghargai anak. Rasulullah tidak jarang menyuapi anak-anak kecil dengan kurma yang sudah dimamahnya. Penuhnya hati Rasul dengan kasih sayang, membuat Beliau tidak marah ketika dalam shalatnya yang kusyuk punggung Beliau dinaiki cucunya, Hassan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau malah melamakan sujudnya, hingga cucunya itu turun. Usai shalat, kepada jamaah Rasul meminta maaf karena sujudnya agak lama. “Para jamaah, karena cucuku ini aku sujud agak lama. Dia berlari mengejarku dan naik ke punggungku ketika aku sedang salat (sujud). Aku khawatir akan mencelakakannya kalau aku bangun dari sujud.” (HR Ahmad). Subhanallah, apakah saat ini kita masih memiliki kasih sayang seperti itu?
Sikap kasih sayang dan kelembutanlah, sebenarnya, yang memungkinkan anak menjadi dekat. yang memudahkan mereka menerima petuah dan didikan orang tuanya. Orang tua yang miskin kasih sayang akan anaknya, menurut Nabi, akan mengundang murka Allah SWT. Aisyah RA berkata, telah datang seorang badui kepada Nabi. Nabi bertanya,” Apakah kamu suka mencium anakmu?” Dijawab, “Tidak.” Nabi bersabda,” … atau aku kuasakan agar Allah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu.” (HR Bukhari).
Anak adalah amanah dan karunia tuhan yang maha esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab bangsa.
Anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan akhlak.
Artinya, jika Anda SUKSES merawat, membesarkan, dan mendidik anak-anak Anda, maka tugas Anda adalah MELAPORKAN kesuksesan Anda tersebut kepada ALLAH SWT kelak, sehingga ALLAH membalas kinerja Anda dengan berlipatganda kebaikan. Namun demikian, jika Anda merasa SUKSES mendidik anak, dan lalu Anda "terlanjur" heboh melaporkan kesuksesan Anda kepada manusia lainnya (dengan maksud menyombongkan diri), maka tidak perlu heran jika Allah tidak jadi memberikan pahala yang berlimpah kepada Anda, yakni pahala atas kinerja Anda yang telah apik melaksanakan amanah dariNya.
So, tugas kita sebagai Orang Tua adalah "menjaga amanah" ini, yakni menjaga kefitrahan anak kita, dan bukanlah untuk menyombongkan amanah dariNya, apalagi untuk menjauhkan anak kita dari KETAUHIDAN.Sebenarnya, setiap anak terlahir dengan orisinalitasnya masing-masing. Mereka sudah disiapkan peran terbaiknya oleh Allah untuk menjadi pribadi yang penuh lestari. Tetapi, kita sebagai orang tuanya, malah seringkali merusak orisinalitas bawaan sang anak, sehingga anak kita setelah menginjak usia remaja hampir selalu berada di persimpangan kebingungan.
Bersikap adillah dengan anak2 kita, tapi janganlah engkau adili mereka, dan engkau paksakan kehendakmu kepada mereka. “Bertakwalah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu. (HR. Bukhari dan Muslim)”
Karena setiap anak itu sudah membawa potensinya, maka SERAHKANLAH kepada ALLAH atas perkembangan anak-anak kita. Tugas kita adalah, melakukan apapun yang Allah perintahkan kepada kita, lanjutnya tawakal saja.
Stress dan Gelisah seringkali muncul karena kita tidak total dalam bertawakkal. Semua yang ada di alam semesta ini sudah teratur dan sudah memiliki tugasnya masing-masing, termasuk saya, Anda, dan anak2 kita.
Mari kita lebih berfokus mendidik anak kita dengan penuh kesabaran dan kesyukuran. Mari kita belajar menikmati proses dan menikmati hasilnya. Janganlah kita menjadi Orang Tua "Mudah Bangga Akan Hasil", yakni orang tua yang ingin anaknya HEBAT, tapi kita tidak turut berproses dalam kehebatan anak kita. Jangan sekedar serahkan anak kita kepada sebuah program yang kita sendiri sama sekali tidak terlibat didalamnya. Jangan sampai kita termasuk orang Tua yang KAGETAN, yakni orang tua yang merasa kaget kok tiba-tiba saja anaknya menjadi HEBAT tapi ia tidak paham KENAPA anaknya menjadi HEBAT. Padahal, semua proses itu akan DITANYAI oleh ALLAH SWT.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita,
“Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”.
Maka tugas kita adalah “menyadari” apa sebenarnya tugas kita hadir di muka bumi ini. Dan kalau kita sudah
“menyadari” dengan kehadiran kita di muka bumi, maka kita akan lebih
sederhana dalam menyikapi hidup ini. Lebih sederhana dalam mendidik
anak2 kita.
Dan kita mulai yakin sepenuhnya, apapun yang terjadi terhadap anak2 kita, selama itu bukan dari rekayasa kita, maka itu semua adalah hasil dari sistem keteraturan semesta (sunnatullah) yang sudah Allah desain secara sangat teliti.
Sehingga jika, Anak2 kita berhasil maka kita tidak mudah sombong karena memang bukan kita yang membuat anak2 kita berhasil melainkan Allah, dan ketika anak2 kita melakukan kesalahan, maka kita pun tidak mudah kecewa, karena setiap masalah, musibah, atau ujian sudah tercatat di lauh mahfudz sebelum terealisir di dunia.
Dan kita mulai yakin sepenuhnya, apapun yang terjadi terhadap anak2 kita, selama itu bukan dari rekayasa kita, maka itu semua adalah hasil dari sistem keteraturan semesta (sunnatullah) yang sudah Allah desain secara sangat teliti.
Sehingga jika, Anak2 kita berhasil maka kita tidak mudah sombong karena memang bukan kita yang membuat anak2 kita berhasil melainkan Allah, dan ketika anak2 kita melakukan kesalahan, maka kita pun tidak mudah kecewa, karena setiap masalah, musibah, atau ujian sudah tercatat di lauh mahfudz sebelum terealisir di dunia.
Orang Tua Biasa..... hanya ingin Memiliki Anak yang Sholeh dan Hebat.
Sedangkan Orang Tua yang Hebat ingin terlibat aktif dalam proses kesholehan dan kehebatan anak-anaknya.
Orang biasa ahli menikmati Hasil.......
Sedangkan orang Luar biasa berhasil menikmati Proses.
(Terimakasih Kang Zein)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar